Memahami Akad Tabarru’ (Non Profit) Dalam Islam
Pengertian Tabarru’
Tabarru’ menurut bahasa berasal dari kata برع, yang berarti memiliki kelebihan dalam ilmu, kekuatan dan yang lainnya. Dalam al-Misbah dikatakan
بَرَعَ الرَّجُلُ يَبْرَعُ وَبَرُعَ بَرَاعَةً وِزَانُ ضَخُمَ ضَخَامَةً إذَا فَضَلَ فِي عِلْمٍ أَوْ شَجَاعَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَارِعٌ
تبرع الأمر artinya mengerjakan sesuatu tanpa tuntutan imbalam. (al-Mishbah al-Munir, 1:44)
برع berarti memiliki keungggulan dalam ilmu yang lainnya sebagai dikatakan dalam al-Sihah (3:1184):
برع الرجل، وبرع بالضم أيضا، براعة، أي فاق أصحابه في العلم وغيره، فهو بارع
فعلت كذا متبرعا، أي متطوعا berarti aku mengerjakannya secara sukarela.
Adapun dalam terminologi fikih (Mujam Musthalahat Maliyyah, 2008:127) adalah:
بذل المكلف مالا أو منفعة لغيره فى الحال او المستقبل بلا عوض بقصد البر و المعروف غالبا
menyerahkan harta atau manfaat kepada yang lain baik pada waktu sekarang atau yang akan datang tanpa mengharapkan imbalan ataupun kompensasi atau upah, dengan tujuan kebaikan dan kemurahan hati.
Dalam al-Mujam al-Wasit (1:50) dikatakan:
أعْطى من غير سُؤال وتفضل بِمَا لَا يجب عَلَيْهِ غير طَالب عوضا
Memberi tanpa ditanya dan berbuat kebaikan yang bukan kewajibannya dengan tanpa meminta imbalan
Hukum tabarru’
Islam mendorong dan menganjurkan untuk berbuat kebaikan dan bermurah hati sebagaimana dalam al-Quran, hadits dan ijma. Tabarru’ dan jenis-jenisnya adalah kebaikan.
Adapun landasan al-Quran adalah QS. al-Baqarah 180 dan al-Maidah: 2. Dalam QS. al-Maidah ayat 2 Allah swt. berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Adapun dari hadits di antaranya adalah adalah:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ فَقَالَ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا
dari Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma bahwa ‘Umar bin Al Khaththab radliallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat Beliau tentang tanah lahan tersebut dengan berkata: “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar dimana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka apa yang Tuan perintahkan tentang tanah tersebut?” Maka Beliau berkata: “Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya lalu kamu dapat bershadaqah dengan (hasil buah) nya”. Ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhu berkata: “Maka ‘Umar menshadaqahkannya dimana tidak dijualnya, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan namun dia menshadaqahkannya untuk para faqir, kerabat, untuk membebaskan budak, fii sabilillah, ibnu sabil dan untuk menjamu tamu. Dan tidak dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma’ruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain bukan bermaksud menimbunnya. Perawi berkata; “Kemudian aku ceritakan hadits ini kepada Ibnu Sirin maka dia berkata: “ghoiru muta’atstsal maalan artinya tidak mengambil harta anak yatim untuk menggabungkannya dengan hartanya (Bukhari dan Muslim)
Adapun dari segi ijma umat sepakat disyariatkannya tabrru dan tidak ada seorangpun yang mengningkarinya (al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 66:10)
Hukum Taklifi Melaksankan Akad Tabarru
Para fukaha sepakat bahwa hukum tabarru’ hukum taklifinya bukan satu saja, ia beraflikasi dengan hukum yang lima, tabarru itu bisa wajib, sunah, haram dan makruh, hal tersebut tergantung obyek, subyek dan pelaku tabarru (al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 66:10)
Macam-Macam Tabarru’
Ibn Sahal al-Maliki mengatakan akad-akad tabarru’ adalah shadaqah, hibah, wakaf, al-umra’, al-irfaq dan al-silah diantaranya adalah ‘ariyyah, hadiyyah, al-‘atiyyah, al-hiba (memberi), nihlah (mas kawin) minhah (donasi, hadiah, pemberian) dan rahn. (Mujam Musthalahat Maliyyah, 2008:127)
Rukun dan Syarat Tabarru’
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun tabarru itu ada empat
Mutabbari (yang melakukan tabarru), mutabarru la hu, mutabaarru bihi dan shigat.
1) Mutabarri’ adalah الْمُوصِي (yang berwasiyat), الْوَاهِبُ (yang menghibahkan), الْوَاقِفُ (yang mewakafkan), atau الْمُعِيرُ (yang meminjamkan).
2) Mutabarra’ lah adalah الْمُوصَى لَهُ (yang diberiwasiyat), لْمَوْقُوفَ عَلَيْهِ (yang menerima wakaf), الْمَوْهُوبَ لَهُ(yang diberihibah), atau الْمُسْتَعِيرَ (yang meminjam).
3) Al-Mutabarra’ bihi adalah مُوصًى بِهِ (yang diwasiyatkan), مَوْهُوبًا(yang diwakafkan), مَوْقُوفًا(yang dihibahkan), atau مُعَارًا (yang dipinjamkan).
4) Shigat adalah yang menyusun tabarru dan menjelaskan maksud yang melakukan tabarru’ (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 10:67)
Adapun rukun tabarru menurut mazhab Hanafi adalah satu yaitu shigat (lihat Bada’i al-Shana’i 6 :115, 207 dan 214)
Syarat tabarru’
bagi setiap tabarrru masing-masing memiliki syarat-syarat tertentu, apabila syarat=syarat tersebut terpenuhi maka tabarru’nya sah namun jika tidak maka tabarru’nya tidak sah. Syarat-syaratnya banyak dan bermacam-macam ada yang berkaiatan dengan 1) Mutabarri’ 2) Mutabarra’ lah 3)Al-Mutabarra’ bihi dan 4) Shigat. Rinciannya bisa dilihat pada bab masing-masing. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 10:67)
Dampak Tabarru’
Tabarru’ apabila syarat-syaratnya sempurna, memiliki implikasi syara, yaitu berpindahnya apa yang ditabarru’kan/kepemilikan kepada yang menerima. Perpindahannya berbeda-beda sesuai dengan apa yang diberikan.
Contohnya dalam wasiyat, berpindah kepemilikan yang berwasiyat kepada yang diberi wasiyat dengan diterimanya wasiyat setelah wafatnya yang berwasiyat. Dalam hibah menurut Jumhur fukaha berpindah kepemilikan yang dihibahkan dari yang menghibahkan kepada yang menerima hibah setelah yang menerima hibah menggemgamnya. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi perpindahannnya tergantung kepada dimiliki. Adapun dalam ‘ariyyah/ pinjam meminjam, maka berpindahnya hak pemanfaatan kepada yang meminjamitu hanya untuk sementara waktu.
Adapun dalam wakaf, maka para fukaha berbeda pendapat tentang perpindahan kepemilikannya. Menurut Mazhab Hanafi, Syafi’i dan yang masyhur di Mazhab Imam Ahmad bahwa wakaf itu mengakibatkan keluarnya kepemilikan yang mewakafkan dan harta yang diwakafkan menjadi milik Allah. Sedangkan menurut Mazhab Maliki dan ini riwayat dari Imam Ahmad bahwa wakaf itu kepemilikannya tetap menjadi milik mewakafkan. Mereka beristidlal dengan riwayat Umar:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا وَقَفَ أَسْهُمًا لَهُ بِخَيْبَرَ قَال لَهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: حَبِّسْ أَصْلَهَا
Mereka beristinbat berdasarkan nash tersebut bahwa harta yang diwakafkan tetap milik yang mewakafkan. (al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 10:68)
semakin seseorang mancari ilmu, ia akan terlihat semakin bodoh. karena sejujurnya ilmu Allah itu sangat luas. Sedangkan kita yang menerima hanya manusia kecil biasa…
semakin seseorang berilmu makan semakin merunduklah dia…